Jumat, 20 Mei 2011

CIRI CIRI ULAMA AKHIRAT

Saudaraku....taukah kamu ciri cirinya Ulama(alim) akhirat????????
Ulama akhirat itu mempunyai tiga ciri:
Satu:tidak mencari harta( material )duniawi dengan ilmunya..apalagi sampai mematok harga yang wacccch....
Dua: selalu fokus dan beristigol dengan ilmu ilmu yang bersifat ukhrowi..(mementingkan ilmu bhatin untuk mempelajari hati agar tidak berpenyakit seperti hasud,iri,dengki.ujub,takabur dsb)
Tiga:berpegang teguh dengan ilmu nya dan taqlid terhadap yang mempunya,i syara dalam ucapan dan pekerjaannya..
Sooo...Di jaman sekarang di manusia sudah terserang penyakit hubbudnya, ulama macam begini sekarang sudah langka dan munmgkin di ambang kepunahan..walaupun mungkin masih ada..
dan kita do,akan semoga ulama ulama yang masih berpegang teguh pada qur,an dan sunah di panjangkan usianya dan di berkahkan ilmu nya..Amiin...

Ya Allah....Terimalah Taubatku....

Ya Allah… terimalah taubatku yang tidak sempurna ini….
yang serba kekurangan dan banyak cacat dan celanya
Tapi apa daya…
Ini yang aku mampu
mempersembahkannya kepada-Mu

Telah kucoba sepenuh hati
Tapi masih tidak mampu sempurna
Aku harap dengan rahmat-Mu
Terimalah jua taubatku
Aku tetap tidak akan jemu
Kuteruskan walau tidak meningkat
Aku tetap istiqomah

Ya Allah….Kasihanilah
Hamba yang lemah ini
Pengampunan-Mu yang kuharapkan
Siapa lagi yang akan mengampuni.
Kalau Engkau tidak mengampuninya.
Ya Allah…Aku kan hamba-Mu juga
Aku ciptaan-Mu juga
Kalau Engkau selamatkan
Engkau tidak akan rugi
Kebesaran-Mu akan tetap sempurna
Ampunilah wahai Tuhan
Segala dosaku yang menggunung ini….

Asatgfirullahal Azdiim.................

Astaghfirullah…Aku Mohon Ampun Ya Allah…
sudah kesekian kalinya , Hamba lalai untuk khusyu’ menghadap-Mu ya Allah…
aku merasa seakan-akan sudah tidak pantas lagi untuk bertaubat padaMu, Wahai Dzat ghofurrurohim….
Namun, perasaan hina dan dosa yang begitu banyaklah yang menggiring aku untuk terus mendekat kepada-Mu, untuk memohon ampun atas dosa-dosaku…dosa besar,kecil tabhu,at terhadap sesama…

ya Allah…
Inilah aku apa adanya,
aku yang paling berdosa di antara sekian milyar hamba-Mu yang shalih
aku yang jatuh bangun untuk berusaha mendekat dengan-Mu, walaupun lebih sering jatuh dibanding aku bangun untuk kembali kepada-Mu..Terimalah taubatku Ya Allah….

aku sudah bosan dengan perilakuku yang begitu memalukan dihadapanmu
perilaku manusia-manusia yang ingkar atas nikmatmu
perilaku manusia yang tidak bersyukur atas segala kasih sayang-Mu padaku

ya Allah…
inilah aku aku apadnya,
kuingin…sekali menghadap kepada-Mu dengan penuh rasa cinta dalam hatiku…
rasa cinta yang kupersembahkan untuk-Mu semata ya Allah…
namun, apalah daya , aku hanya seorang manusia biasa
yang mudah sekali untuk bermaksiat dihadapan-Mu
yang begitu ringan untuk melangkahkan kakiku untuk lebih mencintai dunia ini ya Allah…
yang kadang lisan ini begitu mudahnya untuk berdusta dan bicara yang tidak ada manfaatnya, walaupun aku tahu…
bahwa Engkau selalu Maha Mengetahui atas segala apa yang ada dalam hati ku, dalam penglihatanku, dalam pendengaranku, dan segala gerak-gerik tubuh kecil ini
Ya Allah…terimalah taubatku…

Selasa, 17 Mei 2011

Renungan

kadang hidup ini aneh sekali,suka dan duka datang silih berganti.tapi....mungkin itulah kehidupan yang mesti kita jalani,tidak ada kata berhenti dalam hidup,mundur tertinggal dan berhenti di injak orang..sooo..sekali melangkah kedepan pantang mundur kebelakang...itulah yang mestio di pegang oleh mukmin sejati...Allahhu AKBAR

Minggu, 20 Maret 2011

Khuruj bersama Jama’ah Tabligh

Berikut ini adalah kutipan dari dua fatwa ulama ahli sunnah tentang hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh. Yang pertama adalah fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz sedangkan yang kedua adalah fatwa Syaikh Shalih al Fauzan.

جماعة التبليغ ، والصلاة في المساجد التي فيها قبور
س : سؤال من : م . ع- من أمريكا يقول : خرجت مع جماعة التبليغ للهند والباكستان ، وكنا نجتمع ونصلي في مساجد يوجد بها قبور ، وسمعت أن الصلاة في المسجد الذي يوجد به قبر باطلة فما رأيكم في صلاتي وهل أعيدها؟ وما حكم الخروج معهم لهذه الأماكن؟

Jamaah Tabligh dan Shalat di Masjid yang di Dalamnya Terdapat Kuburan

Pertanyaan dari seseorang yang berdomisili di Amerika
Penanya mengatakan, “Aku ikut khuruj bersama Jamaah Tabligh ke India dan Pakistan. Kami berkumpul dan shalat di masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan. Aku pernah mendengar bahwa shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan itu tidak sah. Apa pendapatmu tentang shalatku, apakah aku perlu mengulanginya? Apa hukum ikut khuruj bersama mereka ke tempat-tempat semisal ini?

ج : بسم الله ، والحمد لله ، أما بعد :
جماعة التبليغ ليس عندهم بصيرة في مسائل العقيدة فلا يجوز الخروج معهم إلا لمن لديه علم وبصيرة بالعقيدة الصحيحة التي عليها أهل السنة والجماعة حتى يرشدهم وينصحهم ويتعاون معهم على الخير ؛ لأنهم نشيطون في عملهم ، لكنهم يحتاجون إلى المزيد من العلم ، وإلى من يبصرهم من علماء التوحيد والسنة .
رزق الله الجميع الفقه في الدين والثبات عليه .

Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Bismillah wal Hamdu lillah. Amma Ba’du.
Jamaah Tabligh itu tidak memiliki ilmu tentang berbagai permasalahan akidah. Oleh karena itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang akidah yang benar. Itulah akidah ahli sunnah wal jamaah. Dengan demikian orang tersebut bisa membimbing dan menasehati mereka serta bisa tolong menolong bersama mereka dalam kebaikan.
Mereka adalah orang-orang yang bersemangat dalam kerja dakwah namun mereka memerlukan tambahan ilmu. Mereka juga memerlukan ulama yang faham tentang tauhid dan sunnah yang bisa mengajari mereka.
Moga Allah memberikan kepada semuanya pemahaman yang baik tentang agama dan konsisten dengannya.

أما الصلاة في المساجد التي فيها القبور فلا تصح ، والواجب إعادة ما صليت فيها ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد متفق على صحته ،

Shalat yang dikerjakan di dalam masjid yang ada kuburan di dalamnya itu tidak sah. Anda memiliki kewajiban untuk mengulangi shalat yang telah anda lakukan di dalam masjid tersebut. Dalam masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah itu melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah” (HR Bukhari dan Muslim).

وقوله صلى الله عليه وسلم : ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك أخرجه مسلم في صحيحه . والأحاديث في هذا الباب كثيرة .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم .

Dalil yang lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ingatlah, orang-orang sebelum kalian itu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai tempat ibadah. Ingatlah janganlah kalian jadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Sungguh aku melarang hal tersebut” (HR Muslim). Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali”.

نشرت في مجلة الدعوة في العدد ( 1438 ) بتاريخ 3 / 11 / 1414 هـ .

Fatwa ini pertama kali dipublikasikan di majalah ad Dakwah edisi 1438 tanggal 3 Dzulqa’dah 1414 H [Fatwa Syaikh Ibnu Baz ini ada di Majmu al Fatawa wa al Maqolat al Mutanawi’ah jilid 8 hal 331. Bisa juga dilihat di buku Kasyfu as Sattar karya Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 68-69].

Dari fatwa ini kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran:

1. Hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh itu pada asalnya haram kecuali seorang yang berilmu (baca: ustadz salafy) yang diharapkan bisa membimbing mereka kepada akidah dan cara beragama yang benar.
2. Tolong menolong atau kerja sama dengan Jamaah Tabligh asalkan dalam kebaikan itu diperbolehkan. Namun ingat tolak ukur kebaikan itu timbangan syariah, bukan sekedar perasaan.
3. Dalam fatwa di atas Ibnu Baz memuji Jamaah Tabligh dalam sisi semangat dalam kerja dakwah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pujian kepada kelompok yang dinilai sesat itu terlarang tanpa terkecuali. Yang benar hukum tindakan semacam ini tergantung motif dan konteks pembicaraan.
4. Sisi kebaikan yang dimiliki sebuah kelompok ‘bermasalah’ tidaklah menghalangi kita untuk mengingatkan orang lain terhadap bahaya kelompok tersebut. Dalam fatwa di atas, sisi kebaikan yang ada pada Jamaah Tabligh tidak menghalangi Ibnu Baz untuk melarang khuruj bersama mereka bagi orang yang tidak memiliki ilmu.

و المقصود جماعة التبليغ التي شغلت الناس في هذا الزمان و هي جماعة ضالة في معتقدها و منهجها و نشأتها كما وضح ذلك الخبيرون بها مما تواتر عنهم مما لا يدع مجالا للشك في ضلال هذه الجماعة و تحريم مشاركتها و مساعدتها و الخروج معها فيجب على المسلمين الحذر منها و التحذير منها.

Syaikh Shalih al Fauzan mengatakan, “Intinya, Jamaah Tabligh yang telah menyita perhatian banyak orang di zaman ini adalah kelompok yang sesat dalam akidah, jalan beragama dan awal tumbuhnya sebagaimana penjelasan orang-orang yang benar-benar mengetahui mereka. Penjelasan para pakar dalam hal ini banyak sekali. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi tersisa ruang untuk meragukan kesesatan kelompok ini. Haram hukumnya berperan serta dan membantu acara-acara mereka serta khuruj bersama mereka. Seluruh kaum muslimin memiliki kewajiban untuk mewaspadai mereka dan mengingatkan orang lain agar tidak mengikuti mereka” (Kata pengantar Syaikh Shalih al Fauzan untuk buku Kasyfu al Sattar karya Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 5).

Dari penjelasan Syaikh Shalih al Fauzan ini kita bisa membuat kesimpulan bahwa hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh menurut beliau haram secara mutlak. Kita simpulkan demikian, karena beliau tidak memberi pengecualian.
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh itu diperselisihkan, ada yang melarang secara mutlak semisal Syaikh Shalih al Fauzan atau memberi pengecualian dalam kondisi tertentu sbagaimana penjelasan Ibnu Baz.
Oleh karena itu dalam masalah ini dan yang semisal hendaknya kita tidak memakai ‘kaca mata kuda’ sehingga menilai masalah yang diperselisihkan di antara para ulama ahli sunnah sebagaimana masalah yang menjadi konsesus semua ulama ahli sunnah.

Bahaya Khuruj(melawan) terhadap Pemerintah

Oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari

Gerakan khuruj (pemberontakan) dan inqilab (melancarkan kudeta) terhadap suatu pemerintahan (yang sah) bukanlah sarana untuk memperbaiki masyarakat. Bahkan justru memicu timbulnya kerusakan di tengah masyarakat.

Khuruj terhadap pemerintah muslim, bagaimana pun tingkat kezhalimannya, merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj Ahlus Sunnah (Wal Jama’ah). Ada dua macam bentuk khuruj, (1). Khuruj dengan memanggul senjata (2). Khuruj dengan perkataan dan lisan.

Mereka yang selalu memunculkan perpecahan, pertikaian, dan pergolakan terhadap pemerintahan muslim, pada hakikatnya telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan tersebut. padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar, sebagaimana sabda beliau.

“Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah” [Muttafaq ‘alaih]

Renungkanlah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kecuali engkau melihat suatu kekufuran”. Penuturan beliau tidak terhenti sampai di situ saja, tetapi diiringi dengan keterangan “kekufuran yang sangat jelas”. Lantas beliau menambahkan keterangan lebih lanjut “ yang dapat engkau buktikan tentang itu di sisi Allah”.

Di dalam hadits ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan lima buah penekanan untuk mencegah orang dari khuruj dan takfir (mengkafirkan pemerintah atau pun individu muslim) yang merupakan perbuatan sangat buruk dan berbahaya. Karena dapat mengakibatkan kerusakan dan kehancuran di tengah masyarakat.

Bahkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam kitabnya, I’lamul Muwaqqi’in : “Tidak ada satu pemberontakan pun terhadap pemerintah muslim yang membawa kebaikan terhadap umat pada masa kapan pun”

Begitu juga hujatan terhadap pemerintah. Manakala sebagian orang menjadikan hujatan terhadap pemerintah sebagai materi ceramah dan “nasihat-nasihat” yang mereka sampaikan untuk memperoleh simpati manusia. Manusia pada dasarnya menyukai hujatan terhadap pemerintah, juga terhadap para penguasa dan pemimpin, serta kepada setiap orang yang mempunyai posisi lebih tinggi dari mereka. Seakan-akan hujatan dan celaan tersebut sebagai hiburan yang dapat menyenangkan hati mereka

Sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan ketika kita menyaksikan hujatan, makian, serta cercaan terhadap pemerintah, saat ini menjadi materi-materi ceramah dan “masukan” bagi sebagian da’i zaman sekarang, khususnya pada waktu terjadinya fitnah. Hingga materi yang mereka sampaikan akan membuat orang-orang berkomentar :”Masya Allah, Syaikh ini orang yang berani, atau Syaikh ini orang yang kuat”. Padahal fakta ini sesungguhnya tidak mendatangkan manfaat apa pun, melainkan hanya akan menghasut dan mengotori jiwa

Sebagian orang justru mengira, tindakan tersebut merupakan bentuk upaya menasehati pemerintah. Padahal terdapat metode dan prosedur dalam menasehati pemerintah, seperti termaktub dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin menasehati penguasa, maka hendaklah dia pergi kepadanya, dan merahasiakan nasihatnya itu”

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjelaskan bahwa nasihat kepada para penguasa atau pemerintah, hendaklah disampaikan secara rahasia. Karena bila ditempuh secara terang-terangan akan menimbulkan gejolak hati, yang merusak hati.

Kalau di antara kita –para penuntut ilmu- ada yang terjatuh ke dalam suatu kesalahan, kemudian salah seorang menasihatinya di depan umum, ia langsung akan berkata : “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah. Janganlah kamu membuka aibku di depan umum. Kalau engkau ingin menasihatiku, maka lakukanlah dengan empat mata”.

Kalau para penuntut ilmu, para da’i yang mengajak manusia kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang mengetahui keutamaan ilmu, keutamaan al-haq dan kembali kepadanya (setelah mengalami kekeliruan)- tidak menyukai metode seperti ini dalam memberikan suatu nasihat, maka bagaimana mungkin para penguasa yang memiliki kedudukan, kekuasaan, senjata, serta tentara yang banyak –bagaimana mungkin mereka- akan dapat menerima nasihat dengan cara yang tidak simpatik ini. Justru yang lebih utama, tidak menasihati mereka di depan umum ; kalaupun hal ini tidak mendatangkan maslahat bagi pemerintah, paling tidak akan memberi maslahat bagi diri kita sendiri. Hal ini, tentunya apabila mereka (para penguasa) adalah orang-orang muslim.

Batasan yang paling rendah untuk menghukumi mereka sebagai seorang muslim, ialah apabila mereka tunduk dan mengakui kebenaran agama Islam. Meskipun mereka melakukan suatu penyelewangan, mempunyai kesalahan yang banyak dan berbuat dosa-dosa besar. Dan ini semua tidak menjadikan mereka sebagai orang kafir, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah” [Muttafaqun ‘alaih]
Kemudian Syaikh Muqbil rahimahullah berkata : “Kami tidak memandang kudeta sebagai jalan untuk membenahi masyarakat. Bahkan gerakan tersebut, justru menimbulkan kerusakan dalam masyarakat”

Marilah kita simak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim, dari hadits Arfajah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa yang datang kepada kalian, ketika kalian bersatu di bawah satu pimpinan, dia berkeinginan untuk memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia” [HR Muslim]

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa pemberontakan terhadap suatu pemerintah, yang dapat menimbulkan suatu perpecahan di kalangan masyarakat merupakan salah satu hal yang mewajibkan seseorang untuk dibunuh. Akan tetapi, perlu diingat, bahwa yang dapat menjatuhkan sanksi ini adalah waliyyul-amr, pemerintah yang memegang kekuasaan

Dalam sebuah hadits dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan.

“Kami berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu patuh dan taat, baik terhadap apa yang kami suka maupun yang tidak kami suka, dan dalam keadaan sulit maupun lapang, dan untuk mendahulukan apa yang diperintahkan (di atas segala kehendak kami), dan untuk tidak merebut kekuasaan dari pemimpin yang sah. Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah” [Muttafaqun ‘alaih]

Akan tetapi, ketaatan ini tidak boleh berlawanan dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya terhadap perkara yang ma’ruf (baik) saja” [Muttafaqun ‘alaih]

Dan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain.

“Tidak boleh taat kepada makhluk di dalam maksiat kepada Al-Khaliq”[HR Thabrani di dalam Al-Mu’jamul Kabir]

Kalau mau merenung sejenak, niscaya kita akan memperoleh fakta bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada satu pemberontakan pun yang berhasil. Lain halnya dengan orang-orang kafir, kebanyakan pemberontakan yang mereka gerakkan berakhir dengan keberhasilan. Di sini seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala sedang menghendaki, supaya kita mau melihat dan memperhatikan bahwa cara seperti ini, bukanlah metode syar’i. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menginginkan kita supaya menempuh metode syar’i yang telah digariskan oleh-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Ra’d : 11]

“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu” [Muhammad : 7]

“Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa” [Al-Hajj : 40]

Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa metode syar’i adalah tidak keluar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa” [Al-An’am : 153]

“Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :”Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat suatu garis, kemudian beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”, kemudian beliau membuat garis-garis yang banyak di bagian kanan dan bagian kirinya, lalu berliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan (yang dimaksud oleh Allah), dan pada setiap jalan terdapat setan yang menyeru kepadanya”, kemudian beliau membaca ayat : “Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa” .

Dari sini jelaslah bagi kita, bahwa tidak ada jalan untuk memperbaiki kondisi masyarakat melainkan dengan mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi segala macam bentuk bid’ah. Mari kita simak firman Allah Azza wa Jalla yang sangat agung berikut ini.

“Dan adakalanya kami memperlihatkan kepadamu (Muhammad) sebagian dari (siksaan) yang Kami janjikan kepada mereka, atau Kami wafatkan engkau (sebelum itu)” [Yunus : 46]

Banyak diantara manusia yang berkata “kami belum melihat kejayaan Islam”. Ketahuilah ! Bahwa tidaklah mesti kita melihat segala apa yang telah dijanjikan Allah kepada kita, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak melihat segala apa yang di jajikan oleh Allah. Coba kita menyimak firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan janji-Nya kepada orang-orang beriman.

“Allah telah menjajikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan amal shalih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama telah Dia ridhai bagi mereka. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam, ketakutan menjadi aman sentosa. Asalkan mereka (tetap) semata-mata beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan suatu pun” [An-Nur : 55]

Sungguh ini merupakan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila kita dapat merealisasikan perintah Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan merealisasikan apa yang telah Dia janjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kita.

Wallahu ‘alam, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihi wa sallam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Footnote
[1]. Diterjemahkan oleh ustadz Ahmad Danil dari penjelasan Syaih Ali Hasan Al-Halabi terhadap risalah Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah yang berjudul “Hadzihi Da’watuna Wa Aqidatuna”.

almanhaj

What is Following?

What is Following?

MUNAFIK

MUNAFIK
Jul 9, '08 3:44 AM
for everyone
Munafik adalah yang mereka itu menampakan keimanan dan menyembunyikan kekafiran. Allah menjelaskan secara panjang lebar sifat yang bisa dimasukkan sebagai kemunafikan. Sangat banyak penyebutan yang berulang-ulangnya dari sifat kemunafikan ini dalam Al quran, seperti pada surah Al-Bara`ah dan surat al Munafiqun, dan juga disebutkan dalam surah An Nuur dan disurat-surat lainnya.
Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa nifak itu artinya yaitu menampakan kebaikan dan menyembunyikan keburukan. Dan nifak itu terbagi dua :
1. Nifak keyakinan adalah nifak ini mengekalkan pelakunya di dalam neraka,
2. Nifak perbuatan adalah nifak ini termasuk dari dosa besar. Karena sesungguhnya orang munafik itu berselisih antara perkataan dan perbutannya. Dan sesungguhnya sifat-sifat kaum munafik ini terdapat pada surat-sutrat yang diturunkan di Madinah, karena di Mekkah tidak ada didalamnya itu kemunafikan dan bahkan perselisihan.
Dalam surah al Baqarah ini ada beberapa ayat yang menjelaskan kisah-kisah orang-orang munafik, diantaranya adalah sebagai berikut:
GOLONGAN ORANG-ORANG MUNAFIQ
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ 8 يُخَادِ عُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَ عُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ 9
Dan diantara manusia ada yang mengatakan "kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka bukan orang yang beriman (8) Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman dan tidaklah mereka itu melainkan dirinya sendiri dan mereka tidak menyadari (9).
Sababun Nuzul :
Dalam suatu riwayat di kemukakan bahwa empat ayat pertama dari surat al baqarah (2 - 5) membicarakan sifat-sifat kaum mu'minin, dan dua ayat berikutnya (6 -7) menceritakan tentang kaum kafirin yang menegaskan bahwa hati, pendengaran, dan penglihatan mereka tertutup - diperingatkan atau tidak diperingatkan mereka tidak akan beriman, dn tiga belas ayat selanjutnya (8 - 20) menegaskan cirri-ciri dan atau sifat dari kelakuan kaum munafiqin
Penjelasan
Diantara manusia ada yang menonjolkan kekafiran karena kebencian, padahal hati kecilnya beriman. Tatkala nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, disana terdapat kaum Anshor yang terdiri dari kabilah Aus dan Khazraj yang pada masa jahiliyah mereka menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh kaum musyrik arab. Terdapat juga kaum yahudi dari kalangan Ahli Kitab yang masih mengikuti pola hidup para pendahulunya, dan mereka terdiri dari tiga kabilah : 1. Bani Qainuqa, yang merupakan sekutu kaum khazraj 2. Bani Nadhir, dan 3. Bani Quraizhah sekutu kaum Aus.
Ketika Rasulullah saw, tiba di Madinah, maka masuk Islamlah orang-orang tertentu dari kaum Anshar, baik dari kabilah khazraj dan Aus, namun sedikit sekali kamu yahudi yang masuk Islam. Diantara mereka yang masuk Islam adalah Abdullah bin Sallam ra. Pada saat itu belum ada kemunafikan sebab kaum mukmin belum mempunyai nyali yang ditakuti pihak lain, bahkan Nabi Muhammad saw berdamai dengan kaum yahudi dan dengan beberapa kabilah setempat yang ada diseputar Madinah.

Setelah terjadi peristiwa al-'Uzhma (hebat) dan Allah menampakan kalimah-Nya serta memuliakan Islam dan pemeluknya, maka masuk Islamlah Abdullah bin Ubai ibnu Salul, yang dahulunya sebagai penguasa Madinah, berasal dari kabilah Khazraj. Ia adalah pemimpin kabilah Aus dan khazraj pada masa jahiliyah dahulu mereka pernah akan menjadikannya sebagai raja mereka. Akan tetapi, datanglah kepada mereka kebaikan, lalu mereka masuk islam sehingga hasrat mereka terlupakan. Dalam diri Ubai tersimpan dendam terhadap islam dan pengikutnya. Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, Abdullah bi Ubai bi Salul berkata :"Ini adalah perkara yang unggul". Maka dia pura-pura masul islam bersama beberapa golongan yang mengikuti jejak dan pola hidupnya serta beberapa orang ahli kitab. Dari kejadian tersebut timbulllah kemunafikan pada penduduk Madinah dan yang ada di sekitarnya.
Jadi kaum munafik tersebut berasal dari kabilah Aus, Khazraj, dan Yahudi. Oleh karena itu, Allah mengingatkan supaya kaum mukminin tidak tertipu oleh penampilan yang akan menimbulkan kerusakan luas lantaran keyakinan keimanannya, sedang hakikatnya ialah dia kafir. Maka diantara yang diperingatkan adalah hendaknya kaum munafik dianggap secara pasti sebagai orang yang jahat, dan ini lebih baik.
Allah Ta'ala berfirman { وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ }, yakni dan sebagian manusia mereka berkata dengan lisan mereka kami beriman kepada Allah dan terhadap apa-apa yang yang diturunkan kepada Rasul-Nya dari ayat-ayat yang jelas seperti firmannya إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ , artinya apabila datang kepadamu orang-orang munafik, mereka berkata :"Kami mengakui bahwa kamu benar-benar Rasulullah. (Al-Munafiqun :1), yakni sesungguhnya tiada lain mereka berkata yang demikian itu hanya dibibir saja. Sebagaimana pada akhir ayat ini Allah mendustakan mereka seperti firmannya
: وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ, artinya Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta (akhir ayat surah al-munafiquun :1). {وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ }, yakni mereka juga beriman kepada hari berbangkit setelah kematian yang padanya itu ada pembalasan terhadap amal dan mereka iman terhadap hari kiamat karena sesungguhnya itu adalah hari akhir.
{ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ 8}, yakni dan tidaklah mereka itu dalam keimanan yang hakiki dan mereka tidaklah beriman, karena mereka berkata seperti itu tanpa didasari dengan keyakinan.
{ يُخَادِ عُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا}, yakni mereka menipu Allah dan mendustakannya dan mereka juga berani kepada Allah dan menyangka mereka telah berhasil menipu Allah dan orang-orang mukmin, { وَمَا يَخْدَ عُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ 9 }, dan tidaklah mereka menipu kecuali menipu diri mereka sendiri bahwasannya perbuatan mereka itu akan kembali kepada mereka sendiri dan mereka tidak menyadarinya.
Sumber : Tafsir At thobary, Ibnu Katsir, Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas
Wallahu'alam

HIKMAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Hari ini Jumat 26 Februari 2010 bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1431 H. ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional. Hari Kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW.

Seperti tahun-tahun sebelumnya Perayaan Maulid berlangsung di bebarapa tempat, ada yang berlangsung sangat meriah namun ada pula yang berlangsung sederhana.

Perayaan Maulid dibeberapa daerah sudah menjadi tradisi, bahkan ada yang mengarah ke praktik syirik dengan mengadakan sesajian, berkurban untuk alam, laut misalkan, pemubadziran makanan atau harta, ikhtilath atau campur baur laki-laki dan perempuan, praktek yang mengancam jiwa dengan berdesak-desakan atau rebutan makanan, dan lainnya yang bertentangan dengan syari’at.

Dibalik semua perayaan yang berlangsung tersebut ada hal yang paling penting kita maknai, agar perayaan itu bukan sekedar seremonial belaka.

Peringatan maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah saw., mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah swt. tegaskan sebagai rahmatan lil’alamin.

Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama Internasional, mengungkapkan dalam situs beliau:“Ketika kita berbicara tentang peristiwa maulid ini, kita sedang mengingatkan umat akan nikmat pemberian yang sangat besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan kenabian. Dan berbicara atau membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syariat dan sangat dibutuhkan.”
Kenyataan saat ini telah membuktikan, bahwa disebabkan belum bersungguh-sungguhnya kita dalam meneladani Rasulullah SAW dalam mengarungi perjuangan hidup, maka kehidupan kaum muslimin saat ini cenderung terperosok menjadi ummat terbelakang, dibandingkan dengan ummat-ummat lain di hampir semua bidang kehidupan.

Oleh karena itu, jika kondisi kehidupan kita ingin berubah, maka yang harus kita lakukan adalah mau dan berani merubah kebiasaan hidup kita ini.
Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah segala sesuatu yang ada pada diri mereka sendiri” (QS.23. Ar-Ra’du : 11).

Imam Ibnu ‘Atho’illah dalam kitab Al-Hikam menyatakan :“Bagaimana mungkin keadaanmu akan berubah menjadi luar biasa, sedangkan kamu belum mau merubah kebiasaan-kebiasaaan hidupmu”.
Kebiasaan mengabaikan teladan Rasulullah SAW dalam kehidupan kita sehari-hari ternyata membawa kita kepada kemunduran derajat hidup, maka jika ingin berubah menjadi ummat yang maju dan bermartabat, kita harus merubah kebiasaan kita.

Kita harus tinggalkan sikap menyepelekan dan mengabaikan uswahtul hasanah Rasulullah SAW. Kita harus bersungguh-sungguh dan lebih bersungguh-sungguh lagi dalam mengenal dan mengikuti teladan Rosulullah SAW dalam hidup ini.

Kesungguhan kita dalam mengikuti teladan Rasulullah SAW secara utuh dalam mengarungi perjuangan hidup ini adalah kunci menuju kehidupan ummat yang lebih maju dan bertartabat di masa yang akan datang.

Imam Ibnu Atho’illah menyatakan : “Janganlah kamu membanggakan warid yang belum kamu ketahui buahnya. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan adanya awan itu bukanlah hujan. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan adanya awan adalah wujudnya buah-buah pepohonan”.

Al-Hamdulillah jika kita dapat menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan meriah. Namun hendaknya jangan terlalu bangga dahulu. Sebab terselenggaranya acara itu baru ibarat awan. Meriahnya suasana baru laksana hujan. Bagaimana dengan buahnya ?. Sudah wujudkah ?.
Buahnya adalah “Mutiara hikmah dan perubahan”. Perubahan menjadi lebih baik. Lebih utuh dan lebih bersungguh-sungguh dalam meneladani Rosulullah SAW dalam seluruh sisi kehidupan kita. Kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan dunia.

Rasullah SAW adalah rahmat bagi semesta alam, kebaikan dan keberkahannya tidak hanya didapatkan oleh orang-orang yang semasanya dan tidak pula berakhir dengan wafatnya.

Kepada Nabi Muhammad SAW, Allah SWT berfirman, " dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) kententraman jiwa bagi mereka. Allah Maha mendengar, maha mengetahui." (Qs. At-Taubah: 103).

Allahumma inni atawajjahu ilaika binabiyyika nabiyyirrahmati Muhammadin shallallahu `alaihi wa alihi. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi-Mu, nabi pembawa rahmat, Nabi Muhammad, shalawat atasnya dan atas keluarganya.

Wallaahu ‘a’lam bisshowaab.

Bangkitlah Pemuda Islam

Ditulis oleh Musfi Yendra, S.IP Kamis, 08 Januari 2009 19:05
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka (Sang Pencipta), dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk”. (Q.S. Al-Kahfi : 13). Dalam sejarah kebangkitan peradaban dunia pemuda (tentu juga pemudi) menjadi aspek kontibutif yang sangat penting. Hampir semua perubahan itu diusung oleh gerakan pemuda. Dengan kolaborasi potensi yang ada pada dirinya menjadi kekuatan yang terkalahkan. Semangat pantang menyerah plus arahan bijaksana oleh generasi tua.
Islam memberikan perhatian khusus terhadap pemuda. Sehingga target utama pembentukan perjuangan oleh Rasulullah adalah para pemuda. Mereka dibina oleh Rasulullah setiap hari di rumah Arqam bin Abi Arqam. Diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam, yang paling muda ketika itu keduanya berumur 8 tahun, Thalhah bin Ubaidillah (11), al Arqam bin Abi al Arqam (12), Abdullah bin Mas’ud (14) yang kelak menjadi salah satu ahli tafsir terkemuka, Saad bin Abi Waqqash (17) yang kelak menjadi panglima perang yang menundukkan Persia, Jafar bin Abi Thalib (18), Zaid bin Haritsah (20), Utsman bin Affan (20), Mush’ab bin Umair (24), Umar bin Khatab (26), Abu Ubaidah Ibnul Jarah (27), Bilal bin Rabbah (30), Abu Salamah (30), Abu Bakar Ash Shidiq (37), Hamzah bin Abdul Muthalib (42), Ubaidah bin al Harits, yang paling tua diantara semua sahabat yang berusia 50 tahun.

Para sahabat tersebut menjadi garda terdepan tegaknya Islam dimuka bumi, mereka mesin politik dakwah. Hasil pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah pada fase syiriyatuddakwah dan jahriyatuddakwah waktu itu menggemparkan peradaban dunia. Segala macam tantangan dari kaum-kaum yang menentang berkembangnya Islam tidak sedikitpun menyurutkan langkah para pemuda-pemuda mulia tersebut. Peperangan dengan senjata (jihad qithal), ekspansi Islam terhadap wilayah-wilayah dunia, melakukan pendidikan terhadap umat (tarbiyah islamiyah) telah menjadi tugas utama assabiqunal awwalun.

Sungguh mereka telah menyimpan segudang kebanggaan dan kemuliaan, ilmu, kebudayaan, tatanan nilai dan prinsip. Mereka membina mental spiritual ummat, melenyapkan simbol-simbol paganisma serta menyemaikan benih-benih tauhid, keadilan, ukhuwah dan persamaan. Cucuran darah syuhada merupakan parfumnya. Tombak yang menancap di dada mereka adalah lambang kehormatan dan kemuliaan. Mereka mempertaruhkan nyawa demi membela agama.

Dalam sejarah berkembangnya Islam baik pada fase Nubuwwah bersama Rasul, kemudian fase khalifah urrasyidin dibawah empat khalifah, fase mulkan adhan kerajaan-kerajan Islam dan fase mulkan jabbariyan para penguasa menindas yang dikomandoi barat saat sekarang para pemuda Islam senantiasa tetap berjuang. Walaupun pada fase penguasa menindas ini banyak pemuda-pemuda yang keok tak berdaya karena kalah oleh perang pemikiran. Kita sadari perjuangan para sahabat-sahabat muda rasul yang penuh semangat telah memberikan hasil yang sangat luar biasa, hingga sampai pada generasi kita bisa hidup aman dan selamat dengan Islam.

Perubahan zaman pun tetap berjalan. Para generasi yang lahir dengan kharakteristik yang berbeda-beda satu sama lain. Trend yang berkembang dari seluruh aspek life style ternyata menjadi ancaman besar terhadap generasi muda Islam pada kehidupan akhir zaman ini. Gelombang degradasi moral menjadi momok yang menakutkan kalau tidak terselamatkan dengan cepat.

Syatilyn seorang orientalis dalam Buku Al ghraha alal `alaamil Islami dikutip oleh Muhammad Sayyid al Wakil mengatakan, “gelas dan artis mampu menghancurkan umat muhammad dari pada seribu meriam. Maka tenggelamkan umat Muhammad kedalam cinta materi dan shahwat”. Ideologi penggeraknya adalah Ideologi Zionosme yang didirikan oleh Theodore Herzl (Yahudi Austria) tahun 1897 menurut Shlomo Avineri dalam Buku The Making of Modren Zionism (Basic Books,1981) karena Herzl menguasai senjata terpenting yaitu, media massa, lobi dan public relation.

Penghancuran generasi muda Islam tidak lagi dengan siksaan-siksaan tetapi menggunakan buaian-buaian yang menghancurkan. Mereka sodori pemuda Islam dengan tontonan-tontonan cabul yang merusak akhlak. Mereka suguhi pemuda Islam dengan tontonanan sia-sia yang membuang-buang waktu para pemuda serta menjauhkan para pemuda dari agamanya. Hilanglah kebersihan orientasi, karena memperturutkan hawa nafsu. Hilanglah semangat mereka, karena menjadi generasi yang pemalas dan apatis.

Parahnya lagi realitas zaman telah menggerus karakter-karakter pemuda Islam dengan karakter-karakter pemuda paganis. Pemahaman ketauhidan mulai luntur dengan gerakan revolusi sekularian. Sehingga tidak sedikit pemuda Islam yang berafiliasi dalam gerbong pemikiran pembaharuan yang menyesatkan. Di lain sisi, ada juga kelompok-kelompok pemuda hipokrit yang seakan tenggelam dalam realitas modernisasi kehidupan. Mereka ber-euforia dengan kondisi yang ada, sehingga dalam diri mereka tidak ada sense of crisis yang mampu membangkitkan kesadaran moral mereka akan adanya kompleksitas permasalahan umat

Saatnya Bangkit

Kondisi yang semakin memprihatinkan ini menjadi cambuk besar terhadap pemuda Islam untuk tersadar, bangkit dan berjuang dari lingkaran setan kehidupan yang sia-sia. Sebagai pemuda Islam yang terlahir dengan kemuliaan, kita memiliki potensi yang sangat luar biasa. Pertama, pemuda memiliki keikhlasan, kemurnian orientasi perjuangan/ruhiyah. Kedua, pemuda memiliki semangat/hamasah. Ketiga, pemuda memiliki fisik yang kuat/jasadiyah. Keempat, pemuda memiliki intelektualitas /fikriyah. Semua potensi yang dimiliki semestinya diarahkan untuk perjuangan yang lebih untuk menjadi generasi Qur’ani pecinta Al Qur’an.

Menurut DR. Yusuf Qardhawi dalam buku Ash Shahwah Al Islamiyah Baina al Amal wa al Mahadzir (kebangkitan Islam antara harapan dan rintangan), beberapa aspek kebangkitan Islam kedepan yang harus di perjuangkan oleh terutama pemuda adalah; Pertama, kebangkitan pemikiran Kedua, kebangkitan perasaan dan emosi. Ketiga, kebangkitan amal dan perilaku. Keempat, kebangkitan peran wanita. Kelima, kebangkitan peran pemuda. Keenam, kebangkitan global.

Ada satu lagi fase terakhir yang akan dilewati sebelun kehidupan dunia ini berakhir, disebut dengan khilafah islamiyah manhaj nubuwwah. Islam akan menjadi peradaban terkahir dunia. Samuel Huntington dalam tesisnya yang berjudul “Benturan Antar Peradaban” menjelaskan bahwa Islam akan menjadi peradaban besar setelah kekuatan barat hancur. Kita pun sudah mulai melihat gejala-gejala kehancuran itu. Artinya saat ini kita sudah masuk fase transisi peradaban. Hitungan waktu akan terjadi suksesi peradaban itu. Disinilah diminta peran pemuda Islam berjuang menyongsong kebangkitan tersebut. Berkontribusi menjadi batu bata-batu bata yang akan menyusun peradaban yang didambakan ini. Ganjaran besar yang telah dijanjikan oleh Allah SWT adalah syurga dengan segala fasilitasnya. Yakinlah pada diri kita bahwa kita mampu menjadi pribadi-pribadi muslim yang tangguh dan berpengaruh. Wallahu’alam!

Bagaimana Membedakan Antara Perbedaan Mazhab dengan Aliran Sesat?

Assalamu'alaikum
Ustadz yang dirahmati Allah, ada gejala kebingungan dalam masyarakat antara perbedaan yang disebabkan oleh beda mazhab dengan beda karena aliran sesat. Bagaimana membedakan antara keduanya? Adakah ciri-ciri unutk membedakannya agar umat tidak salah kaprah?
Jazakallah.
Rizqi Maulida A
tjetjep_permana06@yahoo.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Perbedaan pendapat karena masalah beda mazhab punya ciri yang sangat khusus. Mudah sekali membedakannya dengan penyelewenangan aliran sesat.
Aliran sesat itu dikatakan sesat karena memang sesat. Dan kesesatan itu umumnya berada pada wilayah aqidah dasar, bukan pada wilayah ibadah yang merupakan cabang yang tidak terlalu prinsipil.
Kalau kita lihat ada orang shalat dengan tangan di dada, atau jari telunjuknya bergoyang-goyang saat tahiyat, jelas sekali itu bukan penyelewengan aqidah, meski mungkin buat sebagian kita, cara shalat seperti itu aneh dipandang mata.
Tapi kalau sehabis kita shalat di suatu masjid, tiba-tiba bekas tempat kita shalat lantas dicuci tujuh kali salah satunya dengan air tujuh kali, ini merupakan ciri aliran sesat. Karena yang bekasnya dicuci tujuh kali adalah najis mughalladzhah. Lantas apakah diri kita ini dianggap nasjid babi dan anjing? Enak aja
Sepuluh Kriteria Aliran Sesat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi punya salah satu dari kesepuluh kriterai itu, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat
1. Mengingkari rukun iman dan rukun Islam
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),
3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
7. Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i
Memang 10 kriteria ini belum dijabarkan secara lebih detail, mungkin butuh waktu. Tetapi setidaknya kriteria ini sudah cukup membantu pada level yang paling dasar.
Namun untuk kepastian apakah sebuah aliran termasuk menyeleweng dan sesat atau tidak, lembaga seperti MUI inilah yang berwenang mengeluarkan fatwanya.
Sayangnya, fatwa MUI ini oleh negara masih dianggap tidak punya payung hukum yang kuat, sehingga fatwa tinggal fatwa, implementasi dalam bentuk nyata masih belum sepenuhnya dilakukan oleh aparat.
Kalau anda tertarik melihat daftar aliran apa saj yang sudah ditetapkan sesat oleh MUI, silahkan buka situs mereka http://www.mui.or.id
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
(Courtesy: http://www.eramuslim.com/ustadz/aqd/7c12174724-bagaimana-membedakan-antara-perbedaan-mazhab-dengan-aliran-sesat.htm)

TAUHID ULUHIYYAH, RUBUBIYAH DAN ASMA' SIFAT

Bismillah, Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu
`Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah
amma ba'du...

Pembagian Tauhid sebenarnya lebih merupakan masalah methodologis
(cara)
dalang rangka memudahkan pemahaman bagi kaum awam. Maka di sana
kita menemukan bahwa para ulama Islam berbeda-beda dalam membagi
Tauhid, bahkan sebagian ulama ada yang kurang sependapat dengan
pembagian-pembagian Tauhid tersebut. Namun ada baiknya juga kita
mempelajari pembagian-pembagian Tauhid yang dibuat oleh
ulama-ulama Islam, dalam rangka memudahkan pemahaman kita
terhadap masalah yang cukup penting dalam agama kita ini, yaitu
Aqidah.

Para ulama ada yang membagi Tauhid menjadi tiga bagian, yaitu
Tauhid Uluhiyah, Rububiyah dan Asma' Sifat. Sebagian lagi ada
yang membagi Tauhid menjadi dua, yaitu: Tauhid al-Itsbat wal
Ma'rifah (Tauhid Keyakinan dan Pengertian) dan Tauhid fil Thalab
wal Qasd (Tauhid Pengharapan dan Penghambaan).
Namun demikian sebenarnya pembagian-pembagian tersebut intinya tetap
kepada satu tujuan,
yaitu ajaran menyatukan Allah.

Tauhid Rububiyah

maksudnya Keyakinan hamba bahwa Allah adalah
satu-satunya Tuhan yang menciptakan seluruh ciptaan ini dengan
sendiri, dan pengakuan bahwa Allah lah satu-satunya Dzat yang
mengatur semua ciptaan ini, Yang memiliki alam semesta, Yang
menghidupkan seluruh kehidupan dan Yang mematikan seluruh
kematian.

Termasuk dalam Tauhid Rububiyah adalah iman dan Qadla'
dan Qadarnya. Maka Tauhid Rububiyah merupakan landasan awal dari
Tauhid-tauhid yang lain.

Tauhid Uluhiyah

adalah pengakuan dan keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat
yang
berhak disembah. Pengakuan tersebut selanjutnya direalisasikan
dalam bentuk penyembahan, ibadah dan pengharapan dari setiap
do'a-do'anya. Sebagian ulama mendefinisikan Tauhid Uluhiyah
sebagai puncak rasa cinta dan keta'atan kepada Allah. Dengan
Tauhid Uluhiyah ini seorang hamba bisa disebut muslim, karena
telah melaksanakan perintah-perintah agama, yaitu ibadah. Maka
bisa dikatakan bahwa bentuk lahir dari Tauhid Uluhiyah adalah
menjalankan rukun-rukun Islam. Seorang hamba bisa saja telah
mencapai Tauhid Rububiyah, namun belum mencapai Tauhid Uluhiyah,
seperti seseorang yang telah mempercayai keberadaan Allah namun
belum mau menegakkan rukun-rukun Islam.

Tauhid Asma' Sifat.

yaitu kepercayaan bahwa Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna,
dengan mengakui dan mempercayai nama-nama dan sifat-sifat Allah
yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur'an dan yang diceritakan
oleh Nabinya Muhammad s.a.w. Tauhid Asma' Sifat lebih merupakan
persepsi hamba terhadap Tuhannya dengan pengakuan bahwa Tuhannya
adalah yang Maha Sempurna. Iman kepada Asma'ul Husna adalah
termasuk dalam Tauhid ini.

Demikian, Semoga bermanfaat.

Wallahu A'lam bish-shawab

Surga Dan Neraka Sudah Tercipta Sejak Dahulu

Saudaraku, tahukah Anda bahwa sesungguhnya Surga dan Neraka telah tercipta sejak dahulu? Keduanya bukan ciptaan Allah yang baru ada setelah Kiamat kelak terjadi. Dalam kitabnya yang berjudul Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, Ath-Thahawi menulis sebagai berikut:
”Surga dan Neraka telah diciptakan Allah. Keberadaan keduanya tidak akan pernah berakhir. Allah menciptakan surga dan neraka sebelum menciptakan yang lain, dan Dia juga menciptakan penduduk untuk masing-masingnya. Siapa yang diinginkanNya, akan masuk ke dalam surga dengan ampunan dan pertolonganNya, dan siapa yang diinginkanNya akan masuk ke dalam neraka sesuai dengan keadilanNya. Setiap orang akan berperilaku sesuai dengan ketentuan yang telah diciptakan untuknya; perbuatan baik dan perbuatan jelek telah ditaqdirkan untuk semua orang.”

Dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedia Kiamat, Dr Umar Sulaiman Al-Asyqar menyatakan bahwa statement Ath-Thahawi di atas mewakili aqidah ahlus-sunnah wal-jama’ah. Beliau selanjutnya menguatkan pandangan di atas dengan mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits. Di antaranya:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ
عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 133)

Ayat ini menegaskan bahwa surga telah Allah sediakan atau siapkan bagi kaum muttaqin (orang-orang bertaqwa) jauh-jauh hari sebelumnya, maka hendaknya orang-orang beriman berkompetisi untuk mendapat hak memasukinya. Demikian pula sebaliknya, berdasarkan ayat di bawah ini berarti Allah telah sediakan atau siapkan bagi kaum kafir api neraka yang karenanya hendaknya manusia tidak memilih jalan hidup orang kafir jika tidak ingin berakhir di tempat mengerikan itu.
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
”Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS Ali Imran ayat 131)

Di antara sabda Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang membenarkan pendapat bahwa surga dan neraka telah diciptakan Allah sejak awal ialah:

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ
إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ
فَيُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya bila salah seorang di antaramu meninggal, maka diperlihatkan kepadanya tempatnya di waktu pagi dan petang. Jika ia termasuk ahli surga, maka ia ahli surga. Dan jika termasuk ahli neraka, maka ia ahli neraka. Lalu dikatakan kepadanya: ”Inilah tempatmu sehingga Allah bangkitkan kamu pada hari Kiamat.” (HR Bukhary)

Hadits di atas menjelaskan bahwa begitu seorang manusia meninggal dunia kemudian dimasukkan liang lahat, maka setelah selesai proses interview oleh dua malaikat, maka selanjutnya ia akan diperlihatkan tempat tinggalnya kelak di akhirat. Jika ia calon penghuni surga, maka ia akan diperlihatkan surga tempat tinggalnya kelak di setiap waktu pagi dan petang di dalam kuburnya. Sebaliknya, jika ia termasuk calon penghuni neraka maka ia akan diperlihatkan neraka tempat tinggalnya kelak di setiap waktu pagi dan petang di dalam kuburnya. Hal ini akan berlangsung terus di alam kubur atau alam barzakh hingga tibanya hari Kiamat, dimana ia tidak lagi sekedar menyaksikan tempat tinggalnya di akhirat namun ia bahkan bakal memasukinya. Sehingga di dalam hadits lainnya, Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menyebutkan doa yang diucapkan seorang beriman selama di dalam kuburnya saat ia berhak melihat tempatnya di surga yaitu:
رَبِّ أَقِمْ السَّاعَةَ حَتَّى أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي وَمَالِي
“Ya Rabb, datangkanlah hari Kiamat agar aku dapat kembali kepada keluargaku dan hartaku.”(HR Ahmad)

Si mu’min tidak sabar menanti datangnya hari Kiamat. Sebaliknya, ucapan seorang kafir atau munafik selama di dalam kuburnya saat ia melihat neraka sebagai calon tempat tinggalnya di akhirat kelak nanti ialah:
رَبِّ لَا تُقِمْ السَّاعَةَ
“Ya Rabb, janganlah Engkau datangkan hari Kiamat.” (HR Ahmad)

Dalam hadits lainnya diriwayatkan bahwa ketika Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diperjalanankan pada malam Isra’ dan Mi’raj, maka beliau diizinkan Allah melihat surga. Hal ini juga menegaskan bahwa surga sesungguhnya sudah ada sejak dahulu.
ثُمَّ انْطَلَقَ بِي حَتَّى انْتَهَى بِي إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى
وَغَشِيَهَا أَلْوَانٌ لَا أَدْرِي مَا هِيَ ثُمَّ أُدْخِلْتُ الْجَنَّةَ
فَإِذَا فِيهَا حَبَايِلُ اللُّؤْلُؤِ وَإِذَا تُرَابُهَا الْمِسْكُ
“Kemudian Jibril mengantar aku ke Sidratul Muntaha, yang diliputi oleh warna-warna yang sulit dilukiskan keindahannya. Kemudian aku masuk ke dalam surga, yang cahayanya seperti cahaya mutiara dan tanahnya seperti kesturi.” (HR Bukhary)

Bahkan ada lagi suatu hadits panjang yang menggambarkan bahwa surga dan neraka telah Allah ciptakan dahulu dan bahwa Allah telah menyuruh Malaikat Jibril untuk melihat dan memberikan penilaian terhadap keduanya. Kemudian Allah melapisi masing-masing surga dan neraka dengan lapisan yang bisa menyebabkan manusia tertipu akan hakikat keduanya. Dan pelapis itulah –wallahu a’lam- alam fana dunia yang sedang kita jalani saat ini. Dunia yang fana ini memang sangat kaya dengan tipuan mata bagi manusia.
لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ قَالَ لِجِبْرِيلَ اذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا
فَذَهَبَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ
لَا يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَهَا ثُمَّ حَفَّهَا بِالْمَكَارِهِ
ثُمَّ قَالَ يَا جِبْرِيلُ اذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَذَهَبَ
فَنَظَرَ إِلَيْهَا ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ لَا يَدْخُلَهَا أَحَدٌ
قَالَ فَلَمَّا خَلَقَ اللَّهُ النَّارَ قَالَ يَا جِبْرِيلُ اذْهَبْ
فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَذَهَبَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ
أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ لَا يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ فَيَدْخُلُهَا
فَحَفَّهَا بِالشَّهَوَاتِ ثُمَّ قَالَ يَا جِبْرِيلُ اذْهَبْ
فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَذَهَبَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ
أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْقَى أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَهَا
“Ketika Allah menciptakan surga Dia berfirman kepada Jibril: ”Pergi dan lihatlah surga.” Maka Jibril pergi dan melihatnya. Kemudian ia datang dan berkata: ”Demi keagunganMu ya Rabb, tidak seorangpun yang mendengar perihal surga melainkan pasti ingin memasukinya.” Kemudian Allah lapisi surga dengan al-makaarih (hal-hal yang tidak disukai manusia) lalu Allah berfirman: ”Hai Jibril, pergi dan lihatlah surga.” Maka Jibril pergi dan melihatnya. Kemudian ia datang dan berkata: ”Demi keagunganMu ya Rabb, sungguh aku khawatir tidak seorangpun bakal ingin memasukinya.” Ketika Allah menciptakan neraka Dia berfirman kepada Jibril: ”Pergi dan lihatlah neraka.” Maka Jibril pergi dan melihatnya. Kemudian ia datang dan berkata: ”Demi keagunganMu ya Rabb, tidak seorangpun yang mendengar perihal neraka bakal mau memasukinya.” Kemudian Allah lapisi neraka dengan asy-syahawaat (hal-hal yang disukai manusia) lalu Allah berfirman: ”Hai Jibril, pergi dan lihatlah neraka.” Maka Jibril pergi dan melihatnya. Kemudian ia datang dan berkata: ”Demi keagunganMu ya Rabb, sungguh aku khawatir tidak akan ada orang yang bakal lolos dari api neraka.” (HR Abu Dawud)

Ya Allah, sungguh kami memohon ridha dan surgaMu, dan sungguh kami berlindung kepada Engkau dari murka dan nerakaMu. Amin ya Rabb.-

Sabtu, 19 Maret 2011

Iman Kepada Qodho Dan Qodar

Oleh amrsmedaka
Nabi bersabda :”Ketahuilah seandainya suatu umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu maka mereka tidak bisa memberi manfaat tersebut kecuali yang telah ditaqdirkan Allah untukmu dan apabila mereka berkumpul untuk memadharatkanmu maka mereka tidak bisa memadharatkamu kecuali dengan apa-apa yang ditakdirkan oleh Allah atasmu, telah di angkat pena dan telah kering tinta”. Di dalam hadits Rasulullah inilah terdapat penjelasan tentang Qodho’ dan Qodar, maka wajib bagi seorang hamba untuk mengimaninya. Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang dikerjakan hamba-Nya berupa kebaikan dan kejelekan dengan terperinci dan ilmunya tidak didahului oleh ketidak-tahuan. Dan Allah maha mengetahui apa yang menimpa seorang hamba dari kebaikan (atau musibah) dan dia telah menuliskannya di lauhul mahfudz. Nabi bersabda :”Sesungguhnya Allah menuliskan takdir semua makhluk ini sejak 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda :”Sesungguhnya makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah al-Qolam lalu Allah mengatakan kepadanya : Tulislah (takdir semua makhluk ini -pent), maka sejak itupun berjalan takdir Allah hingga hari kiamat” (HR. Ahmad 5/317 dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Syarh Aqidah Thohawiyah hal. 294)
Seorang hamba tidak akan ditimpa oleh sesuatu pun dari kebaikan dan musibah melainkan yang telah Allah takdirkan baginya. Barangsiapa yang akan Allah beri kebaikan maka tidak ada seorang pun dari penghuni langit dan bumi yang bisa menghalangi kebaikan tersebut, meskipun mereka bersatu-padu. Hal ini telah Allah jelaskan dalam al-Qur’an, “Katakanlah : tidak ada yang menimpa kami melainkan yang telah Allah tuliskan untuk kami” (QS. At-Taubah : 51).
“Dan tatkala mereka masuk menurut yg diperintahkan ayah mereka, maka (cara yg mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS.Yusuf : 68)
“Maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdir kan dia termasuk orang-orang yg tertinggal (dibinasakan)”. (QS.An Naml : 57)
“Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini ?”. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata : “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah :”Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yg ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yg ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati”. (Qs.Ali Imron : 154)
TENTANG QADHA’ DAN QADHAR
“Apakah di antara Qadha’ dan Qadar terdapat umum & khusus ?”
Istilah Qadha’ bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadha’, Akan tetapi bila dikatakan “Qadha-Qadar”, maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat dikatakan. “Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila ke duanya dipisah maka bersatu”. Maka kata Qadha’ dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata Qadha’ dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha’) maka memuat makna Qadha’. Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qadha’ bermakna sesuatu yang ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya. Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qadha’.

Iman Kepada Qodho Dan Qodar

Oleh amrsmedaka
Nabi bersabda :”Ketahuilah seandainya suatu umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu maka mereka tidak bisa memberi manfaat tersebut kecuali yang telah ditaqdirkan Allah untukmu dan apabila mereka berkumpul untuk memadharatkanmu maka mereka tidak bisa memadharatkamu kecuali dengan apa-apa yang ditakdirkan oleh Allah atasmu, telah di angkat pena dan telah kering tinta”. Di dalam hadits Rasulullah inilah terdapat penjelasan tentang Qodho’ dan Qodar, maka wajib bagi seorang hamba untuk mengimaninya. Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang dikerjakan hamba-Nya berupa kebaikan dan kejelekan dengan terperinci dan ilmunya tidak didahului oleh ketidak-tahuan. Dan Allah maha mengetahui apa yang menimpa seorang hamba dari kebaikan (atau musibah) dan dia telah menuliskannya di lauhul mahfudz. Nabi bersabda :”Sesungguhnya Allah menuliskan takdir semua makhluk ini sejak 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda :”Sesungguhnya makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah al-Qolam lalu Allah mengatakan kepadanya : Tulislah (takdir semua makhluk ini -pent), maka sejak itupun berjalan takdir Allah hingga hari kiamat” (HR. Ahmad 5/317 dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Syarh Aqidah Thohawiyah hal. 294)
Seorang hamba tidak akan ditimpa oleh sesuatu pun dari kebaikan dan musibah melainkan yang telah Allah takdirkan baginya. Barangsiapa yang akan Allah beri kebaikan maka tidak ada seorang pun dari penghuni langit dan bumi yang bisa menghalangi kebaikan tersebut, meskipun mereka bersatu-padu. Hal ini telah Allah jelaskan dalam al-Qur’an, “Katakanlah : tidak ada yang menimpa kami melainkan yang telah Allah tuliskan untuk kami” (QS. At-Taubah : 51).
“Dan tatkala mereka masuk menurut yg diperintahkan ayah mereka, maka (cara yg mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS.Yusuf : 68)
“Maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdir kan dia termasuk orang-orang yg tertinggal (dibinasakan)”. (QS.An Naml : 57)
“Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini ?”. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata : “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah :”Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yg ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yg ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati”. (Qs.Ali Imron : 154)
TENTANG QADHA’ DAN QADHAR
“Apakah di antara Qadha’ dan Qadar terdapat umum & khusus ?”
Istilah Qadha’ bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadha’, Akan tetapi bila dikatakan “Qadha-Qadar”, maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat dikatakan. “Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila ke duanya dipisah maka bersatu”. Maka kata Qadha’ dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata Qadha’ dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha’) maka memuat makna Qadha’. Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qadha’ bermakna sesuatu yang ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya. Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qadha’.

Iman Kepada Qodho dan Qodar

Iman Kepada Qodho dan Qodar



Apa arti dari qodho dan qodar?

Istilah Qadha' bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadha', Akan tetapi bila dikatakan "Qadha-Qadar", maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan punya makna khusus bila disatukan.

Sebagai contoh dapat dikatakan.

"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka bersatu"

Maka kata Qadha' dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata Qadha' dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha') maka memuat makna Qadha'.

Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qadha' bermakna: sesuatu yang ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya.

Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah di¬ten¬tu¬kan Allah sejak zaman azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qadha'.

Kemudian yang dimaksud dengan iman kepada Qadar adalah kita mempercayai (sepenuhnya) bahwa Allah telah me¬netapkan segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya.

“Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya" [Al-Furqaan : 2]

Kemudian ketetapan yang telah ditetapkan Allah selalu sesuai dengan kebijakan-Nya dan tujuan mulia yang meng¬ikuti¬nya serta berbagai akibat yang bermanfaat bagi hamba-Nya, baik untuk kehidupan (dunia) maupun akhiratnya.

Adakah tingkatan iman kepada Qodar?

Iman kepada Qadar berkisar empat tingkat keimanan.

[1]. Ilmu (Allah), yakni mempercayai dengan sepenuhnya bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi segala sesuatu, baik di masa lalu, sekarang maupun yang akan datang, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya.

Dia (Allah) meliputi semuanya, baik secara global maupun rinci dengan ilmu-Nya yang menjadi salah satu sifat-Nya sejak azali dan selamanya (tak ada akhirnya). Dalil-dalil tentang tingkatan ini banyak sekali. Allah telah berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak ada rahasia lagi bagi-Nya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit" [ Ali-Imran : 5]

.Artinya : Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dan Aku mengetahui apa yang dibbisikkan hatinya" [Qaf : 16]

''Artinya : Allah mengetahui segala sesuatu" [Al-Baqarah : 283

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pengetahuan Allah pada segala sesuatu, baik secara global maupun rinci. Dalam tingkatan ini barangsiapa yang mengingkari Qadar maka dia kafir, karena dia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma' kaum muslimin dan meremehkan kesempurnaan Allah. Karena kebalikan ilmu ada¬lah mungkin bodoh atau alpa dan keduanya berupa aib (cacat). Allah terlah ber¬firman tentang Nabi Musa ketika dia ditanya oleh Fir'aun.

"Artinya: Maka apa saja yang telah terjadi di abad-abad terdahulu, dia (Musa) menjawab : Pengetahuan tentang itu di sisi Rabb-ku di dalam kitab yang Rabb-ku tidak akan salah dan alpa ( di dalamnya)" [Thaha : 51-51]

Maka Allah tidak akan bodoh terhadap sesuatu yang akan datang dan tidak akan melupakan sesuatu yang telah lewat.

[2]. Beriman kepada Allah telah menulis ketetapan segala sesuatu sampai terjadi hari Qiyamat.

Ketika Allah menciptakan Qalam, Allah berfirman kepadanya: "Tulislah", kemudian Qalam berkata : "Hai Tuhanku, apa yang aku tulis?"

Dia berfirman: "Tulislah (dalam hadits yang lain. "Tulislah taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat") semuanya yang terjadi", kemudian dia (Qalam) seketika berjalan menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari Qiyamat. Maka Allah telah menulis di Lauh Mahfudz ketetapan segala sesuatu.

Tingkatan ini telah ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya: “Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah" [Al-Hajj : 70]

Allah juga berfirman. "Sesungguhnya itu semua berada dalam kitab", artinya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz). (Sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah). Kemudian penulisan tersebut terkadang bersifat rinci. Maka janin yang ada di perut ibunya bila melewati umur empat bulan, maka Allah mengutus malaikat kepada¬nya dan mengutusnya membawa empat kalimat, yaitu menulis rizki, ajal, perbuatan, celaka atau bahagia, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ditulis juga di dalam Qadar apa saja yang terjadi dalam tahun itu.

Sebagaimana Allah berfirman.

"Artinya: “Sesungguhnya Aku telah menurunkan pada malam yang berkah, sesungguhnya Aku memberi peringatan di dalamnya tentang perbedaan sesuatu yang mengandung hikmah, sebagai perintah dari-Ku, sesungguhnya Aku Rabb Yang Mengutus" [Ad-Dukhan : 3-5]

[3]. Beriman bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini disebabkan kehendak Allah.

Segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah, baik yang dilakukan oleh-Nya maupun oleh mahkhluk.

Allah telah berfirman.

"Artinya : Dia (Allah) melakukan apa yang Dia kehendaki" [Ibrahim : 7]

Allah juga berfirman.

"Artinya: Kalau Dia (Allah) meng¬hendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya" [Al-An'am : 149]

Dan masih banyak lagi ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan-Nya terjadi karena kehendak-Nya. Begitu juga segala perbuatan makhluk terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka tidak terjadi saling bunuh di antara orang-orang setelah mereka datang penjelasan kepada mereka, akan tetapi mereka berselisih ; sebagi¬an mereka beriman dan sebagian kafir. Dan apabila Allah meng¬hendaki maka mereka tidak saling membunuh, akan tetapi Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki" [Al-Baqarah : 53]

Ini adalah nash (teks Al-Qur'an) yang sangat jelas bahwa semua per¬buat¬an hamba telah dikehendaki Allah dan apabila Allah tidak meng¬hendaki mereka untuk melakukannya maka mereka tidak akan melakukan.

[4] Beriman bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Maka Allah adalah Maha Pencipta dan selain-Nya Dia adalah makhluk.

Segala sesuatu, Allah-lah pencipta¬nya dan semua makhluk adalah cipta¬an¬¬-Nya. Jika segala perbuatan manusia dan ucapannya termasuk sifat¬nya, se¬da¬ng¬¬kan manusia itu makhluk, maka sifat-sifatnya juga makhluk Allah. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah.

"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [As-Safat : 96]

Dengan demikian, Allah telah mene¬tap¬¬¬kan penciptaan manusia dan per¬buat¬an¬nya. Allah juga berfirman: "Wa ma ta'ma¬lun" (dan apa saja yang kamu perbuat). Para ulama berselisih pendapat tentang kata "ma" (apa saja), apa¬kah dia berupa "ma masdhariyah¬“ (sehingga tidak bermakna) atau "ma maushulah" (sehingga bermakna apa saja).

Berdasarkan dua perkiraan di atas (ma mashdariyah atau ma maushulah), maka ayat tersebut tetap menunjukkan bahwa per¬buatan manusia adalah ciptaan Allah. inilah keempat tingkatan keimanan kepada Qadar yang harus diimani, tidak sempurna ke¬ima¬n¬an seseorang terhadap Qadar kecuali dengan mengimani keempat-empatnya.

Qodho-Qodar Vs Sebab Akibat

Ketahuilah bahwa iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan pel¬ak¬sanaan se¬bab, bahkan melaksanakan berbagai sebab merupakan perintah Syari'ah. Hal itu dapat tercapai karena Qadar, karena bebagai sebab akan melahir¬kan musabab (akibat).

Oleh karena itu, Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah meny¬ebar wabah penyakit di sana. Kemu¬dian para sahabat bermusyawarah; apa¬kah per¬¬jalanan ini diteruskan atau kembali pulang ke Madinah?

Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau me¬mutus¬¬kan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut, maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah sembari berkata: Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?"

Umar menjawab: "Kami lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah yang lain". Kemu¬dian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ untuk me¬me¬nui kebutuhannya), kemudian dia men¬cerita¬kan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah penyakit.

Rasulullah bersabda, ”Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka janganlah kamu mendatanginya.”

Kesimpulan perkataan Umar "lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah" itu meru¬pakan dalil bahwa melaksanakan sebab juga termasuk Qadar Allah. Kita tahu bahwa apabila seseorang mengatakan, "saya beriman kepada Qadar Allah dan Allah akan memberiku seorang anak dengan tanpa istri", maka orang tersebut dapat dika¬takan gila. Begitu juga bila dia mengatakan "saya beriman kepada Qadar Allah dan saya tidak akan bekerja untuk mencari rejeki", maka dia adalah dungu.

Karena iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan sebab-sebab syar'iyah atau ikhtiar/usaha yang benar. Adapun sebab-sebab yang berupa prasangka yang dianggap pelakunya sebagai sebab padahal bukan, maka hal itu tidak perlu diperhatikan.

Beriman Kepada Qodho dan Qodar membolehkan maksiat?

Ada kesulitan dalam mengimani Qadar (padahal sebenarnya tidak sulit), yaitu per¬tan¬yaan seseorang: "Apabila perbuatanku dari Qadar/Ketentuan Allah, maka bagai¬mana aku harus menanggung akibatnya sementara semua itu dari Qadar Allah ?"

Jawabannya.

Hendaknya dikatakan kepadanya, “kamu tidak bisa beralasan melakukan maksiat dengan Qadar Allah, Karena Allah tidak memaksamu untuk melakukannya dan ketika kamu dihadapkan kepadanya (maksiat itu) kamu tidak tahu bahwa hal itu ditakdirkan untukmu. Karena manusia tidak mengetahui apa yang ditakdirkan kepadanya kecuali setelah terjadi. Karena itu, kenapa kamu tidak memperkirakan sebelum berbuat bahwa Allah telah mentakdirkan ketaatan kepadamu, sehingga kamu melaksanakannya?”

Begitu juga dalam hal duniawi, pasti kita akan melakukan sesuatu yang dianggap ada kebaikannya dan menghindari yang dianggap berbahaya. Maka mengapa kita tidak bersikap demikian dalam urusan akhirat? Kami tidak yakin jika ada seseorang yang sengaja menginjak paku dan kaca lalu dia berkata: "Ini telah ditakdirkan untukku, bahkan tentunya dia akan menempuh jalan yang paling aman dan mudah.

Tidak ada perbedaan antara hal ini dengan sebuah perkataan bahwa Surga mempunyai jalan dan Neraka juga mempunyai jalan. Maka apabila kita menempuh jalan menuju Neraka, maka kita bagaikan orang yang menempuh jalan yang mengkhawatirkan dan mengerikan. Maka mengapa kita merelakan dirimu menempuh jalan menuju Neraka dan meninggalkan jalan Surga yang indah? Kalau saja manusia boleh beralasan dengan Qadar tatkala melakukan ma'siyat, maka tentunya tidak ada gunanya diutusnya para rasul, surga-neraka, pahala-dosa dll.

Manfaat/Tujuan Beriman Kepada Qodho dan Qodar

Ketahuilah bahwa iman kepada Qadar memiliki buah yang agung bagi perjalanan manusia dan hatinya. Karena apabila kita beriman bahwa segala sesuatu terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah, maka ketika dalam kelapangan kita akan bersyukur kepada Allah dan tidak terlalu membanggakan diri bahwa itu hanya usahamu sendiri. Tetapi sebaliknya meyakini bahwa ini hanya sebab dan meyakini bahwa karunia tetap di tangan Allah, maka kita akan bertambah syukur dan makin banyak beribadah.

Dan bila sedang dilanda kesempitan dan musibah, kita akan yakin bahwa ini semua dari Allah untuk menguji kesabaran dan keimanan kita. Serta menyakini bahwa ada Yang lebih Kuasa dari usaha manusia. Dan kita bisa terus mencoba berusaha agar keadaan yang sempit itu menjadi lapang dan luas di kemudian hari.

Kita juga bisa tetap percaya kepada Allah, menerima dan tidak terlalu menyesal karena musibah yang datang serta tidak diliputi kegundahan yang berat. Bukankah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

Text Box: "Artinya : Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu'min yang lemah, dalam segala kebaikan bersemangatlah (untuk mencapai) apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, jangan merasa lemah, apabila kamu tertimpa suatu (musibah) maka janganlah berkata ; Kalau saja aku melakukan begini maka hasilnya pasti begini, karena kata "kalau" akan membukakan perbuatan syetan".

Maka dengan demikian beriman kepada Qadar mengandung kedamaian jiwa dan hati dan hilangnya kegundahan karena kegagalan, serta hilangnya kekhawatiran untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman.

"Artinya : Tidak ada musibah yang menimpa di bumi dan di dalam dirimu sendiri kecuali telah ada dalam kitab sebelum Aku membebaskannya, sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah, agar supaya kamu tidak bersedih atas kegagalanmu dan tidak terlalu bergembira atas apa (nikmat) yang diberikan kepadamu" [Al-Hadid : 22-23]

Orang yang tidak percaya kepada Qadar sudah pasti mengamali kegoncangan ketika tertimpa musibah dan akan bersedih dan syetanpun kana membuka pintu untuknya dan dia akan merasa terlalu bersuka ria dan terlena ketika mendapat kegembiraan. Akan tetapi iman kepada Qadar akan mampu mencegah itu semua.

Iman Kepada Hari Akhir

Hari Akhir adalah hari Kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu disebut hari Akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni Surga dan penghuni Neraka masing-masing menetap di tempatnya.Iman kepada hari Akhir mengandung tiga unsur:
• Mengimani ba’ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.
Allah berfirman:
“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (Al Anbiyaa 104)
Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti, ditunjukkan oleh Al Kitab, Sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah I berfirman, yang artinya:
“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” (Al Mu’minun 16)
• Mengimani hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam.
Allah berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah 25-26)
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al An’am 160)
• Mengimani Surga dan Neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertaqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang ikhlas.
Di dalam Surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.
Iman kepada hari Akhir adalah termasuk mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sesudah kematian, misalnya:
• Fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap. Ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, “Allah Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad n nabiku. Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan kafir. Mereka akan menjawab pertanyaan dengan terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya. Mereka akan menjawab, ”Aku…aku tidak tahu.” Sedangkan orang-orang munafik akan menjawab dengan kebingungan, “Aku tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku mengatakannya.”
• Siksa dan nikmat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zhalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti dalam firman-Nya, yang artinya: “.. Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An’aam 93)
Buah Iman kepada hari Akhir:
1. Mencintai ketaatan dengan mengharap pahala hari itu.
2. Membenci perbuatan maksiat dengan rasa takut akan siksa pada hari itu.
3. Menghibur orang mukmin tentang apa yang didapatkan di dunia dengan mengharap kenikmatan serta pahala di akhirat.

Iman Kepada Allah Swt - Presentation Transcript

1. Created by: Rizal Dalil, S . Pd. I SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) NEGERI 1 BOGOR : (0251) 321 397Jl. Ir. H. Djuanda No. 16, Bogor
2. ِ‫أ َليْمَـانُ بِالله‬ ِ IMAN KEPADA ALLAH SWT STANDAR KOMPETENSI (AQIDAH): 2. Meningkatkan Keimanan kepada Allah SWT melalui Pemahaman Sifat-sifat-Nya KOMPETENSI DASAR: Menunjukkan Tanda-tanda Adanya Allah SWT
3. INDIKATOR Menjelaskan pengertian iman kepada Allah Menyebutkan tanda-tanda adanya Allah melalui fenomena alam semesta Menyebutkan tanda-tanda adanya Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya Menyebutkan tanda-tanda adanya Allah melalui dalil naqli
4. Pengertian Iman kepada Allah SWT • Secara bahasa, “Iman” berarti: percaya atau yakin. • Secara istilah, iman berarti: diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dikerjakan dengan anggota badan. • Jadi, iman kepada Allah berarti percaya terhadap (adanya) Allah SWT dengan cara diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal (perbuatan) nyata.
5. Tanda-tanda Adanya Allah SWT Melalui Fenomena Alam Semesta Diciptakan oleh Dzat yang Maha Kuasa Siapakah yang menciptakan Alam Semesta ? Tercipta dengan sendirinya, tidak ada yang menciptakannya Adanya alam semesta dan segala isinya menunjukkan adanya Allah SWT. Seandainya Allah tidak ada, tentu alam semesta ini tidak akan ada pula. Allah menciptakan dan memelihara alam semesta
6. Tanda-tanda Adanya Allah SWT Melalui Ciptaan-Nya (Makhluk Hidup) Diciptakan oleh Dzat yang Maha Kuasa Siapakah yang menciptakan Berevolusi (berubah bentuk) Mahkluk Hidup ? dari makhluk hidup lainnya Tercipta dengan sendirinya, tidak ada yang menciptakan Tidak mungkin makhluk hidup tercipta dengan sendirinya ataupun berevolusi Pasti ada pencipta (Al-Kholiq), Yang Maha Kuasa Allah SWT lah Pencipta dan pemelihara seluruh makhluk hidup
7. Tanda-tanda Adanya Allah Melalui Dalil Naqli ِ ِ َْ ِ ِ‫إِن فِى خَلْق السّمـٰوَٰت وَالرْض وَاخْتِلَـٰف الَّيْل‬ َ ِ ّ ِ‫وَالنّهَار ليَـت ِلوْلِى اللْبـٰب‬ َ َ ُِ ٍ ٰ َ ِ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam “ dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imroon [3]: 190)
8. ‫أَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ‬ ‫وَالسلمُ علَيْكمْ وَرَحْاْلعَالَمِينَرَكَاتُهُ‬ ‫مَةُ اِ ْوَبَ‬ ‫َ ُ‬ ‫َّ‬

IMAN DAN NILAINYA DALAM KEHIDUPAN

1. MUKADDIMAH
Tak diragukan lagi bahwa siapapun ingin hidup bahagia. Masing-masing dalam hidup ini mendambakan ketenangan kedamaian kerukunan dan kesejahteraan. Namun di manakah sebenarnya dapat kita peroleh hal itu semua?
Sesungguhnya menurut ajaran Islam hanya iman yg disertai dgn amal shaleh yg dapat menghantarkan kita baik sebagai individu maupun masyarakat ke arah itu.
“Barangsiapa yg mengerjakan amal shaleh baik laki-laki-laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yg baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dgn pahala yg lbh baik dari apa yg telah mereka kerjakan.” .
Dengan iman umat Islam generasi pendahulu mencapai kejayaan berhasil merubah keadaan duni dari kegelapan menjadi terang benderang. Dengan iman masyarakat mereka menjadi masyarakat adil dan makmur. Para umara’ melaksanakan perintah Allah para ulama beramar ma’ruf dan nahi mungkar dan rakyat saling tolong-menolong atas kebajikan dan kebaikan. Kalimatul Haq mereka junjung tinggi tiada yg mengikat antar mereka selain tali persaudaraan iman.
Namun setelah redup cahaya iman di hati kita lenyaplah nilai-nilai kebaikan diantara kita. Masyarakat kita pun menjadi masyarakat yg penuh dgn kebohongan kesombongan kekerasan individualisme keserakahan kerusakan moral dan kemungkaran.
“Yang demikian itu adl krn sesungguhnya Allah sekali-kali tidak merubah sesuatu ni’mat yg telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum sehingga kaum itu merubah apa yg ada pada diri mereka sendiri?..” .
Maka apabila kita ingin mencapai apa yg telah dicapai para salaf apabila kita ingin mewujudkan apa yg telah dijanjikan oleh Allah SWT kepada para hambaNya yg beriman maka hendaklah kita memperbaharui iman dan melaksanakan apa yg menjadi konsekwensinya.
Dengan memohon ma’unah Allah makalah singkat ini mencoba menjelaskan beberapa hal yg berkaitan dgn topik tersebut di atas.
2. PENGERTIAN IMAN
Iman secara etimologis berasal dari kata aamana - yu’minu berarti tasdiq yaitu membenarkan mempercayai. Dan menurut istilah Iman ialah “Membenarkan dgn hati diucapkan dgn lisan dan dibuktikan dgn amal perbuatan.”
Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dgn “Qaulun wa amalun wa niyyatun wa tamassukun bis Sunnah.” Yakni Ucapan diiringi dgn ketulusan niat dan dilandasi dgn berpegang teguh kepada Sunnah .
Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya iman itu beliau menjawab demikian “Qaulun wa amalun wa niyyatun wa sunnatun.” Artinya Ucapan yg disertai dgn perbuatan diiringi dgn ketulusan niat dan dilandasi dgn Sunnah. Kata beliau selanjutnya “Sebab iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adl kufur apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat adl nifaq sedang apabila hanya ucapan perbuatan dan ketulusan niat tanpa dilandasi dgn sunnah adl bid’ah.
Dengan demikian iman itu bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dgn lisan dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong. Imam Hasan Basri mengatakan “Iman itu bukanlah sekedar angan-angan dan bukan pula sekedar basa-basi dgn ucapan akan tetapi sesuatu keyakinan yg terpatri dalam hati dan dibuktikan dgn amal perbuatan. bagian 1 hal. 18}.
3. POSISI DAN KEDUDUKAN IMAN DALAM DIENUL ISLAM
Iman dalam Dienul Islam menempati posisi amat penting dan strategis sekali. Karena iman adl asas dan dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman tidaklah sah dan diterima amal perbuatannya. Firman Allah SWT dalam Qur’an Surah An-Nisa’ 124 yg artinya “Barangsiapa yg mengerjakan amal-amal shaleh baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yg beriman maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
Juga dalam Qur’an Surah Al-Isra’ 19 yg artinya “Dan barangsiapa yg menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dgn sungguh-sungguh sedang ia adl mu’min maka mereka itu adl orang-orang yg usahanya dibalasi dgn baik.”
Disebutkan dalam hadits dari Al-Bara’ ibn ‘Azib Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ada seorang kafir datang dgn bertopeng sambil membawa sepotong besi kemudian memohon kepada Rasulullah SAW agar diperkenankan pergi bersama kaum Muslimin utk ikut berperang. Maka beliau bersabda kepadanya “Masuklah Islam kemudian pergilah berperang!” Lalu iapun masuk Islam dan ikut pergi berperang sehingga terbunuh. Nabi SAW bersabda “Dia beramal sedikit tetapi dibalas dgn pahala yg banyak.” .
Disebutkannya iman dalam Al-Qur’an lbh dari 840 kali1 tiada lain menunjukkan posisi dan kedudukannya dalam Islam menurut Allah SWT.
4. KORELASI ANTARA IMAN DAN ISLAM
Iman dan Islam adl dua sejoli yg tidak boleh dipisahkan. Kedua-duanya ibarat dua sisi uang logam. Tidak ada Iman tanpa Islam dan tidak ada Islam tanpa Iman. Tetapi dgn demikian bukan berarti Islam itu adl Iman dan Iman adl Islam.
Iman apabila disebutkan bersama-sama dgn Islam maka menunjukkan kepada hal-hal batiniah; seperti Iman kepada Allah SWT iman kepada Malaikat iman kepada hari akhir dan seterusnya. Dan Islam apabila disebutkan bersama-sama dgn Iman maka menunjukkan kepada hal-hal lahiriah; seperti Syahadat shalat puasa dan seterusnya. Dasarnya Al-Hujurat 14; Hadits Jibril riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Namun Iman apabila disebutkan tersendiri tanpa dgn Islam maka mencakup pengertian Islam dan tidak terlepas darinya; krn iman menurut definisinya adalah Keyakinan ucapan dan perbuatan. Demikian pula Islam apabila disebutkan tersendiri tanpa dgn Iman maka mencakup pengertian Iman dan tidak boleh dipisahkan darinya. Karena Islam pada hakekatnya yaitu Berserah diri lahir dan batin kepada Allah SWT dgn mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dasarnya Al-Anfal 2 - 3 Al-Mu’minun 1 - 9 dan Al-Imran 19 85.
5. KONSEKWENSI DAN CIRI-CIRI IMAN
Segala pengakuan ada konsekwensinya dan mempunyai ciri-ciri yg menunjukkan kebenarannya. Demikian pula iman. Adapun konsekwensi dan ciri-cirinya antara lain
Mempercayai segala yg datang dari Allah SWT dgn yakin tanpa ragu-ragu lagi. .
Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya melebihi dari yg lain. .
Patuh dan tunduk kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. .
Senantiasa berhukum kepada syariat-Nya. .
Amar Ma’ruf - Nahi Munkar. .
Berda’wah dan Jihad di jalan Allah SWT. .
Walaa’ kepada kaum Mu’minin dan Baraa’ terhadap orang-orang kafir. .
Ridha kepada segala takdir-Nya. .
Bersambung…

IMAN DAN CINTA RASUL 13 - TAMAT ( Ulama Pewaris Nabi)

Menampilkan satu-satunya kiriman.

Muhammad Luthfi Ghozali
ULAMA PEWARIS NABI

Allah SWT berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”. (QS. al-Baqoroh; 2/143)

Firman Allah: شهداء على الناس sebagai saksi untuk manusia, maksudnya; Rasulullah Muhammad SAW dan sebagian umatnya akan menjadi saksi di akherat kelak untuk manusia, juga untuk para Nabi terdahulu dan umatnya. Hal tersebut dinyatakan oleh sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhori RA dari Abi Said al-Khudri RA Rasulullah SAW bersabda:

"قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يُدَّعى نُوْحٌ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُوْلُ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ يَا رَبِّ فَيَقُوْلُ هَلْ بَلَّغْتَ فَيَقُوْلُ نَعَمْ فَيُقَالُ ِلأُمَّتِهِ هَلْ بَلَّغَكُمْ فَيَقُوْلُوْنَ مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيْرٍ فَيَقُوْلُ مَنْ يَشْهَدُ لَكَ فَيَقُوْلُ مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ فَيَشْهَدُوْنَ أَنَّهُ قَدْ بَِلَّغَ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا فَذَالِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا...).

“Nabi Nuh AS dipanggil menghadap dan Allah swt. bertanya: “Adakah sudah engkau sampaikan?”, Beliau menjawab: “Benar”. Maka Allah swt. bertanya kepada umatnya: “Apakah sudah sampai kepadamu?”, mereka menjawab: “Tidak ada satu peringatanpun yang datang”. Allah Ta’ala bertanya lagi: “Apakah engkau mempunyai saksi ?”, maka mereka menjawab: “Muhammad dan umatnya”. Kemudian Nabi SAW dan umatnya bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Nuh AS sudah menyampaikan. Dan jadilah Rasul menyaksikan kepada kalian. Yang demikian itu adalah sebagaimana firman Allah SWT:

(وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا)

Ini merupakan peristiwa ghaib yang dipublikasikan Allah SWT melalui al-Qur’an al-Karim, sebagai persaksian akan keutamaan umat Muhammad SAW dibanding umat Nabi terdahulu. “Keutamaan” yang dipancarkan melalui “keutamaan seorang Nabi yang Utama” sehingga umatnya menjadi “umat yang utama” pula.

Barangkali umat Muhammad SAW sendiri tidak pernah menyadari, bahwa fungsi kekholifahannya meliputi hak menjadi saksi bagi umat terdahulu bahkan Nabi mereka. Kalau yang demikian itu bukan Rasulullah SAW yang mengabarkan, tentu tidak ada orang yang mempercayainya. Namun ketika yang mengabarkan berita ghaib itu sebuah hadits shoheh, maka barangsiapa tidak percaya berarti tidak percaya kepada Allah SWT.

Kalau ada pertanyaan: “Bagaimana logikanya umat Muhammad SAW dapat menjadi saksi bagi umat sebelumnya, padahal sedikitpun mereka tidak pernah melihat kehidupan umat tersebut? Bukankah orang yang akan menjadi saksi harus melihat perbuatan yang akan disaksikan itu dengan mata kepala?”. Jawabnya: “Yang demikian itu menunjukkan apa yang disampaikan Allah SWT dengan wahyu-Nya (al-Qur’an) sungguh benar adanya. Karena hanya melalui al-Qur’an dan hadits, umat Muhammad SAW dapat mengetahui sejarah umat terdahulu tersebut.

Manakala Ulama pewaris Nabi akhir zaman itu benar-benar menguasai ilmu pengetahuan yang dikandung al-Qur’an dan sunnah Nabi, maka siapapun dapat menjadi saksi bagi umat sebelumnya”. Ini berarti, apabila Umat akhir zaman ini ingin mendapatkan kedudukan yang mulia itu, terlebih dahulu harus melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan yang luas. Allah SWT telah menyatakan dengan firman-Nya:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersaksi yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Ali Imran; 3/18)

Tugas risalah yang diemban Rasulullah Muhammad SAW, di samping sebagai saksi sekaligus juga sebagai pemimpin dan pembimbing serta pengatur urusan para saksi, baik urusan lahir maupun batin, jasmani maupun ruhani, urusan dunia maupun akherat. Baginda Nabi SAW melatih dan mentarbiyah jiwa mereka agar menjadi umat pilihan yang siap menjadi pemimpin umat menuju hidayah Allah SWT, bahkan bersama-sama dalam satu perjalanan untuk menggapai keridlaan Allah SWT. Demikian itu secara simple tercakup dalam istilah “Rahmatan Lil ‘Aalamiin”, yaitu memancarkan rahmat Allah SWT kepada seluruh alam semesta.

Tugas risalah Nabi itu bagaikan air hujan yang diturunkan dari langit, maka tanah yang gersang menjadi subur, benih-benih yang berserakan menjadi hidup lalu tumbuh menjadi tanaman. Selanjutnya buahnya dapat dipetik dan dimakan setiap saat, lalu menjadi sumber penghidupan yang menghidupkan kehidupan seluruh makhluk yang ada di atasnya.

Baginda Nabi Muhammad SAW di samping sebagai Rasul, juga menjadi saksi bagi umatnya. Ketika Rasul Muhammad SAW wafat, tugas kenabian itu tidak diserahkan kembali kepada Allah SWT seperti yang pernah terjadi kepada Nabi Isa AS, melainkan diwariskan kepada hamba pilihan dari umat-umatnya. Itulah Ulama’ Allah sebagai pewaris dan penerus perjuangan Beliau sampai hari kiamat. Ini adalah salah satu dan yang paling utama dari sekian keutamaan yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Tongkat estafet kepewarisan itu bukan untuk menyampaikan “risalah dan nubuwah”, akan tetapi untuk menyampaikan "Walayah", yang sekaligus juga agar menjadi saksi bagi manusia pada zamannya. Karena sejak wafatnya Rasulullah SAW, Nubuwah dan Risalah itu telah terputus. Jadi, bukan untuk menjadi Nabi-Nya akan tetapi menjadi Wali-Nya. Allah SWT berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami”. (QS. Faathir; 35/32)

Oleh karena itu, manusia harus mengenal manusia, mencari keutamaan (fadhol) Allah SWT yang tersimpan di dalam diri manusia, itulah “mutiara manusia” yang tersimpan dalam jiwa manusia, mutiara rahasia tersebut dinyatakan Allah dengan firman-Nya; “Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. al- Mu’min; 40/61)

Sebagai kholifah Allah di muka bumi, di dalam dirinya ada sesuatu yang dirahasiakan untuk manusia, bahkan kepada dirinya sendiri, padahal yang dirahasiakan itu seringkali menjadi “sumber inayah dan hidayah” bagi orang lain. Ada kalanya rahmat Ilahiyat yang dirahasiakan di balik mutiara rahasia itu, ternyata merupakan pintu surga yang diidam-idamkan oleh orang-orang yang ada di lingkungannya.

Ketika seorang murid berusaha menggali “mutiara rahasia” itu dengan pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru Mursyidnya, sambung-menyambung (rabith) sampai kepada maha guru yang mulia, Rasulullah Muhammad SAW untuk wushul/LING kepada Allah Ta'ala, dan ketika ternyata murid itu berhasil mendapatkannya, maka saat itu baru mengetahui bahwa mutiara itu di akherat kelak ternyata menjadi faktor penyelamat bagi hidupnya. Itulah “syafa’at Nabi” yang diwariskan kepada ahlinya, barangsiapa tidak mengusakannya di dunia, tentunya dengan berusaha mencintai Rasulullah Muhammad SAW melebihi cinta kepada dirinya sendiri, maka di akherat kelak tidak akan mendapat bagian apa-apa dari “mutiara utama” itu. (Semoga Allah Ta’ala menambahkan manfaat bagi kita semua. Amiin)

Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi

Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
2. Siyar A’lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-’Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
***
Sumber: Majalah Fatawa
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id








Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di muslim.or.id dengan menyertakan muslim.or.id sebagai sumber artikel